welcome in nasyirahnurdin

welcome in nasyirahnurdin

Minggu, 16 Oktober 2011

legalitas perbankan syariah



Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal: usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dll), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.
*Moch. Yazid Afandi, M.Ag
A. Pendahuluan
Dunia perbankan pernah dikejutkan oleh ketidak mampuan bank konvensional dalam menghadapi berbagai macam ketidak pastian moneter yang kemudian melahirkan resesesi ekonomi 1997-1998. Ditengarai bahwa bencana itu justru terjadi disebabkan oleh sistem bunga yang justru menjadi jantung perbankan konvensional. Bank dengan sistem bunganya yang beroperasi sangat kuat saat itu, ternyata sangat rapuh dan justru menjadi bagian masalah resesi ekonomi khususnya di Indonesi. Akhirnya kehadiran perbankan memantik banyak kritik.
Yang menjadi titik kritik bank konvensional bukanlah menolak bank dalam fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan, melainkan pada karakteristik-karakteristiknya. Atas dasar kritik terhadap bank konvensional ini, para ahli ekonomi Islam kemudian menghadirkan Bank syari’ah dengan karkteristik yang berbeda dari bank konvensional.
Secara fungsional, Bank syariah tidak jauh berbeda dengan bank konvensional pada umumnya. Ia sama-sama sebagai sebuah lembaga intermediary yang mempertemukan investor dengan pengusaha. Akan tetapi dalam bank syariah lebih menjanjikan stabilitas dengan sistem pembagian keuntungan dan pembagian kerugian. Berbeda dengan bank konvensional, bank syariah mengenal adanya kebersamaan antar pemilik modal (pihak bank) dengan pengusaha. Demikian juga, ketika terjadi kerugian pada dana yang dikelola pengusaha, pihak bank syariah dengan produk-produk pembiayaan yang dimiliki ikut bertanggungjawab terhadap kerugian tersebut.
Pada aspek tabungan, berbeda dengan bank konvensional, bank syariah tidak pernah menjanjikan bunga dengan sistem prosentase di awal. Yang diperjanjikan kepada nasabah penabung adalah adanya nisbah bagi hasil jika dana yang dikelola oleh bank mendapatkan keuntungan, yang besarya menyesuaikan besarnya pendapatan yang diperoleh bank. Atau setidaknya pihak bank memberikan tabarru’ kepada nasabah penabung sesuai dengan keihlasan dari pihak bank. Dengan sistem seperti ini akan terjalin kondisi keuangan yang stabil, karena tidak mengenal pembayaran bunga yang bersifat pasti.
Pada aspek kultur, bank syariah dihadirkan dengan kultur yang seislami mungkin berupa layanan yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral keagamaan. Kultur ini dibentuk mulai dari yang bersifat substantif seperti menjunjung tinggi keadilan, responsif terhadap kaum lemah, ramah dalam layanan dan lain-lain hingga yang bersifat aksesoris, seperti tata cara berpakaian, desain interior ruangan, tatacara berprilaku dan sebagainya. Tentu semua ini menjadi salah satu pembeda dengan bank konvensional.
Sejarah membuktikan bahwa, ketika resesi ekonomi menghantam dunia perbankan Indonesia pada tahun 1997-1998, bank syariah (ketika itu di Indonesia direpresentasikan bank muamalat) termasuk bank yang cukup mampu bertahan menghadapinya. Tanpa harus berapologi dengan aspek ideologis, pada kenyataanya bank syariah lebih baik dibandingkankan dengan bank konvensional. Maka sangat wajar jika kemudian bank syariah disambut dengan penuh harap oleh para pelaku bisnis.
Antusiasme masyarakat Indonesia memang tidak sebesar yang diprediksikan. Akan tetapi seiring dengan semakin gencarkan wacana Ekonomi Syariah, bank syariah terus menggelinding dan semakin banyak diterima oleh semua kalangan. Terbitnya UU Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan, menandakan dimulainya era perbankan syariah bagi bank-bank baru yang berbentuk syari’ah atau bank konvensional yang akan membuka cabang syariah, yang dikenal dengan istilah dual banking system. Bank-bank konvensional seolah berlomba-loma membuka syari’ah windows untuk merebut pangsa pasar yang masih sangat potensial.
Maka, perlu diketahui lebih lanjut, bagaimana negara memberikan payung hukum terhadap beropersinya bank syarih ini. Atas landasan apa ia beroperasi. Tulisan ini ingin mendiskusikan landasan legal bagi beroperasinya bank syariah di Indonesia. Bukan hanya pada aspek landasan kelembagaannya namun juga pada produk-produknya. Sebagaimana diketahui dari sisi produk, perbankan syariah memiliki berbagai jenis produk dengan yang karakter berbeda dengan bank konvensional yang beropreasi lebih dulu. Semua jenis yang ada dalam perbankan syari’ah tidak ditemukan dalam bank konvensional. Dari macam-macam jenis tersebut tentunya secara legal harus ada payung hukumnya agar mendapat perlindungan negara dalam beroperasi.
Beberapa hal yang menjadi fokus diskusi dalam tulisan berikut dimulai dari sejarah perbankan syari’ah di tanah air. Diharapkan dari pembahasan ini diperoleh informasi tentang kemunculan perbankan syariah di Indonesia dan perkembangannya sebagai mata rantai kemunculan berbagai aspek legal produk-produk dari perbankan syariah. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tinjauan yuridis kelembagaan perbankan syariah di Indonesia. Dalam pembahasan ini yang perlu mendapatkan perhatian adalah seputar karakter kelembagaan dan landasan operasionalnya yang ditetapkan dalam bank syariah, kemudian atas dasar apa bank syariah berpraktek dengan karakteri seperti itu. Diharapkan dengan pembahasan ini dapat dipahami bahwa karakter-karekter bank syariah beroperasi mendapatkan back up yuridis. selanjutnya perlu juga didiskusikan tentang landasan hukum (positif) bagi beberapa produk yang dikeluarkan oleh perbankan syariah. Baik produk-produk yang terkait dengan pengumpulan dana maupun produk-produk yang terkait dengan penyaluran dana.
B. Sejarah Perbankan syariah
Konsep bagi hasil seperti Mudharabah dan Musyarakah hampir pasti sudah ada sebelum datangnya Islam. Di Timur tengah pra Islam, konsep bagi hasil ini berjalan berdampingan dengan pinjaman sistem bunga untuk membiayai berbagai kepentingan bisnis. Setelah kedatangan Islam, pinjaman dengan sistem bunga ini dilarang dan semua dana harus disalurkan atas dasar kemitraan bagi hasil. Kemitraan-kemitraan bisnis dengan bentuk bagi hasil ini berjalan untuk beberapa abad kemudian, akan tetapi tidak mampu berkembang menjadi sarana investasi yang berskala luas sampai munculnya institusi-institusi keuangan Islam.
Konsep teoritis mengenai Bank Syari’ah muncul pada tahun 1940-an, dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini dapat disebutkan pemikiran-pemikiran dari penulis antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci mengenai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962).
Secara kelembagaan eksperimen bagi hasil (proft and list sharing) diterapkan pertama kalinya di Malaysia pada pertengahan tahun 1940an dan di Pakistan pada akhir 1950an melalui Jemaat al- Islami. Penerapan ini ditandai dengan adanya upaya mengelola dana haji secara non konvensional. Sedangkan sejarah Perbankan Islam untuk pertama kalinya didirikan di Mesir pada tahun 1963 yaitu didirikannya Egyp’s Mit Ghamr Saving Banks. Myt-Ghamr Bank dianggap berhasil memadukan manajemen perbankan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan menerjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah pedesaan yang sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian. Namun karena persoalan politik, pada tahun 1967 Bank Islam Myt-Ghamr ditutup. Kemudian pada tahun 1971 di Mesir berhasil didirikan kembali Bank Islam dengan nama Nasser Social Bank, hanya tujuannya lebih bersifat sosial daripada komersil.
Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic Bank, yang didirikan tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai negara. Pada tahun 1977 berdiri dua bank Islam dengan nama Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan. Dan pada tahun itu pula pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait Finance House.
Secara internasional, perkembangan perbankan Islam pada mulanya diprakarsai oleh Mesir dengan diadakannya Sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi Pakistan bulan Desember 1970. Mesir mengajukan proposal berupa studi tentang pendirian Bank Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (International Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks). Inti usulan yang diajukan dalam proposal tersebut adalah bahwa sistem keuangan bedasarkan bunga harus diganti dengan suatu sistem kerjasama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian. Proposal tersebut diterima, dan Sidang menyetujui rencana pendirian Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam. Baru pada tahun 1975 Sidang Menteri Keuangan OKI di Jedah, menyetujui pendirian Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 Milyar dinar Islam, semua anggota OKI menjadi anggota.
Sejak saat itu, mendekati awal dekade 1980-an, Bank-bank Islam bermunculan di Mesir, Sudan, Negara-negara teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki. Secara garis besar lembaga-lembaga perbankan Islam yang bermunculan itu dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni sebagai Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank), seperti Faysal Islamic Bank (Mesir dan Sudan), Kuwait Finance House, Dubai Islamic Bank, Jordan Islamic Bank for Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank dan Islamic International Bank for Finance and Development; atau lembaga investasi dengan bentuk international holding companies, seperti Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment Company of the Gulf, Islamic Investment Company (Bahama), Islamic Investment Company (Sudan), Bahrain Islamic Investment Bank (Manama) dan Islamic Investment House (Amman).
Perkembangan selanjutnya, muncullah minat perbankan-perbankan konvensional untuk membuka layanan syari’ah melalui Islamic Window. Setelah mereka melihat berbagai keunggulan yang ada dalam perbankan syari’ah mereka mulai menyediakan jasa layanan keuangan syari’ah. Tercatat pada tahun 2005 Deutche Bank, HSBC, Citigroup dan BNP Paribas mendirikan unit layanan syari’ah. Lebih lanjut pada tahun 2006 dikatakan sebagai tahun yang bagus bagi perkembangan bank syariah di dunia internasional dengan berlomba-lombanya pelaku perbankan membuka syariah window.
Sementara itu, di Indonesia rintisan praktek perbankan Islam dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A Poerwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syari’at Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, Musyarakah dan Murabahah.
Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Sedangkan secara yuridis formal perbankan syari’ah mendapatkan respon yang semestinya pada tahun 1992 dengan diundangakannya UU nomor 7 pada tahun 1992 tentang perbankan yang memuat ketentuan-ketentuan yang secara implisit membolehkan pengelolaan bank dengan sistem bagi hasil. Kemudian dipertegas lagi melalui UU No. 10 tahun 1998 yang merupakan amandemen UU No. 7 1992. dalam UU No. 10/1998 ini secara tegas membedakan bank yang pengelolaannya secara konvensional dengan secara syari’ah. Kehadiran UU ini juga sekaligus menghapus adanya larangan dual banking system yang ada dalam UU No. 7/1992. Kemudian UU No. 10/1998 ini disusul keluarnya UU No. 23/1999 tentang wewenang BI menjalankan tugasnya berdasarkan prinsip syari’ah. Perkembangan UU seperti ini telah memberi landasan legal lebih kuat dan sekaligus mempercepat perkembangan bank syari’ah di Indonesia.
Dalam periode 1992 – 1998, tercatat hanya satu bank umum Syari’ah dan 78 Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS) yang beroperasi. Dengan diundangkannya UU No. 10/1998 dan kemudian disusul keluarnya UU No. 23/1999, telah merangsang pelaku bisnis perbankan syari’ah untuk mengoperasikan perbankan berdasarkan prinsip-prinsp syari’ah. Kondisi ini ditandai oleh berdirinya bank syariah baru dengan sistem dual banking system antara lain Bank IFI yang membuka cabang syari’ah pada tanggal 28 Juni 1999, berdirinya Bank Syariah Mandiri yang merupakan konversi dari Bank Susila Bhakti, serta pendirian lima cabang syari’ah dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Pada bulan Februari 2000, tercatat di BI bank-bank yang membuka cabang syari’ah, yakni Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, bank Bukopin, BPD Jabar, BPD Aceh, dll
Perkembangan terakhir muncul konsep office chanelling yang intinya menyatakan bahwa bank-bank konvensional diperbolehkan membuka counter-counter syariah dalam operasional usahanya. Mengenai office chaneling ini diatur dalam PBI nomor 8/3/PBI/2006. Maka, dengan keluarnya konsep ofice chaneling ini, perkembangan bank syari’ah akan semakin mudah untuk dipercepat.
C. Perbankan Syari’ah Dalam Konstelasi Hukum Positif Indonesia
Sebagaimana telah dikemukakan, secara teoritis Bank syari’ah baru dirintis sejak tahun 1940-an dan secara kelembagaan baru dapat dibentuk pada tahun 1960-an. Di Indonesia kenyataannya baik secara teoritis maupun kelembagaan, perkembangan Bank Islam muncul lebih akhir. Oleh karena itu, respon Pemerintah terhadap legalitas perbankan syari’ah muncul jauh setelah bergulirnya wacana bank syari’ah di luar negeri. Eksistensi Bank Syari’ah secara hukum positif dimungkinkan pertama kali melalui Pasal 6 huruf m Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pasal 6 huruf m beserta penjelasannya tidak mempergunakan sama sekali istilah Bank Islam atau Bank Syariah. UU tersebut hanya menyebutkan: “menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah."
Di dalam Pasal 5 ayat (3) PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum pun hanya disebutkan frasa kemudian ditegaskan lagi dalam penjelasanya “Bank berdasarkan prinsip bagi hasil”. Begitu pula dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat hanya menyebutkan frasa “Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil” yang dalam penjelasannya disebut “Bank Perkreditan Rakyat yang berdasarkan bagi hasil”.
Kesimpulan bahwa “bank berdasarkan prinsip bagi hasil” merupakan istilah bagi Bank Islam atau Bank Syariah baru dapat ditarik dari Penjelasan Pasal 1 ayat (1) PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam penjelasan ayat tersebut ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalat berdasarkan Syari’at dalam melakukan kegiatan usaha bank.
Melihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam PP No. 72 Tahun 1992, keleluasaan untuk mempraktekkan gagasan perbankan berdasarkan syariat Islam terbuka luas, terutama berkenaan dengan jenis transaksi yang dapat dilakukan. Namun demikian, dalam UU tersebut masih ada ketidak leluasaan bagi bank konvensional yang ingin membuka cabang syari’ah. Pasal 6 PP No 72/1992 menyebutkan:
(1) Bank Umum atau bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil.
(2) Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
Pasal ini menegaskan bahwa bank yang sudah terlanjur berpraktek seara konvensional tidak diberi peluang untuk membuka cabang syari’ah. Sementara itu, cukup disadari oleh banyak kalangan bahwa, keberadan bank syari’ah cukup mendominasi dari aspek infra strukturnya. Market share sudah banyak dikuasi oleh perbankan jenis ini. Jika perbankan konvensional menginginkan untuk berpraktek secara syari’i, maka menurut UU tidak bisa membuka cabang syari’ah, dan harus mendirikan lembaga baru. Maka, dari aspek kebutuhan infra struktur, UU tersebut masih mengandung kelemahan.
Demikian juga, pada saat berlakunya UU No. 7 Tahun 1992, selain ketiga PP tersebut di atas tidak ada lagi peraturan perundangan yang berkenaan dengan Bank Islam. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa eksistensi Bank Islam yang telah diakui secara hukum positif di Indonesia, belum mendapatkan dukungan secara wajar berkenaan dengan praktek traksaksionalnya. Hal ini dapat dilihat misalnya dari tidak seimbangnya jumlah dana yang mampu dikumpulkan dibandingkan dengan penyalurannya di masyarakat. Bagi BMI tidak ada kesulitan untuk mengumpulkan dana berupa tabungan dan investasi dari masyarakat, namun untuk penyalurannya masih sangat terbatas, mengingat belum adanya instrumen investasi yang berdasarkan prinsip syariah yang diatur secara pasti, baik instrumen investasi di Bank Indonesia, Pemerintah, atau antar-bank. Kondisi ini sedikit banyak berpengaruh terhadap perkembangan perbankan syariah. Inilah kelemahan lain yang ada dalam UU No 7/1992.
Meskipun pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 perkembangan perbankan syariah masih memerlukan penyempurnaan di sana sini, namun momentum tersebut merupakan salah satu tonggak sejarah yang sangat penting bagi perkembangan aspek legal perbankan syariah di Indonesia. Dalam makalahnya yang berjudul “Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional”, Mariam Darus Badrulzaman mengatakan sebagai berikut :
“Undang-undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 membawa era baru dalam sejarah perkembangan hukum ekonomi di Indonesia. Undang-undang tersebut memperkenalkan “sistem bagi hasil” yang tidak dikenal dalam Undang-undang tentang Pokok Perbankan No. 14 Tahun 1967. Dengan adanya sistem bagi hasil itu maka Perbankan dapat melepaskan diri dari usaha-usaha yang mempergunakan sistem “bunga”.
… Jika selama ini peranan Hukum Islam di Indonesia terbatas hanya pada bidang hukum keluarga, tetapi sejak tahun 1992, peranan Hukum Islam sudah memasuki dunia hukum ekonomi (bisnis).”
Setelah keluarnya UU No 7/1992 sebagai tonggak sejarah perkembangan perbankan syariah di Indonesia, muncullah UU No 10/1998. UU ini boleh dikatakan sebagai ”penyempurna” UU No 7/1992. dalam UU tersebut terdapat perkembangan yang cukup signifikan bagi perbankan syari’ah di Indonesia pada aspek legalnya. UU ini dapat mengukuhkan eksistensi perbankan syari’ah, yang dalam UU No 7/1992 belum secara tegas disebut kecuali sebatas penyebutan dengan istilah bank dengan sistem bagi hasil. Dalam Undang-undang tersebut, penyebutan terhadap entitas perbankan Islam secara tegas diberikan dengan istilah Bank Syari’ah atau Bank Berdasarkan Prinsip Syari’ah.
Kemudian pengaturan lebih lanjut terhadap bank Syari’ah ini ditindak lanjuti oleh BI dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Direksi BI Pada tanggal 12 Mei 1999 yakni:
1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum, khususnya Bab XI mengenai Perubahan Kegiatan Usaha dan Pembukaan Kantor Cabang Syariah;
2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah ; dan
3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Beberapa Surat Keputusan Direktur BI tersebut semakin memantapkan keberadaan bank syari’ah. Beberapa produk syar’i siap dioperasionalisakasn dengan payung hukum yang jelas. Bank-bank konvensional dapat membuka cabang syari’ah dengan leluasa, selama memenuhi persyaratan. Demikian juga, jika bank syari’ah akan dipraktekkan dengan bentuk BPR, maka keluarnya Surat Keputusan tersebut merupakan payung hukumnya.
Perkembangan selanjutnya berkenaan dengan operasional dan instrumen yang dapat dipergunakan Bank Syariah dalam melakukan pengelolaan dana. Pada tanggal 23 Februari 2000 Bank Indonesia mengeluarkan tiga Peraturan Bank Indonesia, yakni :
1. Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah , yang mengatur mengenai kewajiban pemeliharaan giro wajib minimum bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
2. Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang dikeluarkan dalam rangka menyediakan sarana penanaman dana atau pengelolaan dana antarbank berdasarkan prinsip syariah; dan
3. Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) , yakni sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip Wadi’ah yang merupakan piranti dalam pelaksanaan pengendalian moneter semacam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam praktek perbankan konvensional.
Munculnya peraturan-peratuan di atas, kemudian ditinjaklanjuti juga tentang tugas dan wewenang BI dalam menegakkan aturan di atas, dengan dimunculkannya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UUBI). Pasal 10 ayat (2) UUBI memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk menggunakan cara-cara berdasarkan prinsip syariah dalam melakukan pengendalian moneter. Kemudian Pasal 11 ayat (1) UUBI juga memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek suatu Bank dengan memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Dengan demikian, UUBI sebagai undang-undang bank sentral yang baru secara hukum positif telah mengakui dan memberikan tempat bagi penerapan prinsip-prinsip syariah bagi Bank Indonesia dalam melakukan tugas dan kewenangannya.
D. Aspek Legal Kelembagaan Perbankan Syariah di Indonesia
Seperti telah diketahui, bahwa secara legal formal keberadaan bank syari’ah di Indonesia dimulai dari munculnya UU No 7/1992. UU ini mengatur tentang praktek perbankan dengan sistem bagi hasil, disamping pengelolaan perbankan dengan sistem konvensional. Maka bisa dikatakan bahwa sejak saat itu sistem pengoprasioan perbankan di Indonesia mengenal dengan istilah dual banking system, yang berarti memperkenankan dua sistem perbankan secara co-existance, meskipun masih secara implisit. Baru melalui perubahan dengan UU 10/1998 secara terang-terangan dinyatakan bahwa dua sistem perbankan di Indonesia ini adalah: Konvensional dan Syariah.
Saat ini, perbankan syariah dikenal dengan beberapa bentuk:
1. Bank Umum Syari’ah; adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bentuk badan hukum yang diperkenankan adalah Perseroan Terbatas/PT, Koperasi, atau Perusahaan Daerah (Pasal 2 PBI 6/24/PBI/2004 ); dengan modal disetor sekurang-kurangnya satu trilyun rupiah (Pasal 4 PBI 7/35/PBI/2005 )
2. Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS); Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bentuk badan hukumnya dapat berupa: Perseroan Terbatas/PT, Koperasi atau Perusahaan Daerah (Pasal 2 PBI 6/17/PBI/2004 ). Modal disetor BPRS ditetapkan sbb:
a) untuk wilayah DKI Jakarta, Kab/Kota Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi, modal disetor 2 Milyar Rupiah.
b) Untuk wilayah Ibu Kota propinsi di luar Wilayah DKI Jakarta, Kab/Kota Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi, modal disetor 1 Milyar Rupiah
c) Untuk wilayah lain 500 Juta Rupiah
3. Islamic (Syaria) Windows; Perubahan Pasal 6 huruf m oleh UU 10/1998 terhadap UU 7/1992 menjadi jendela bagi pembukaan kantor bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah oleh Bank Umum Konvensional. Ketentuan terbaru, yakni Pasal 13 (1) PBI 8/3/PBI/2006 menetapkan pembukaan tersebut bisa dilakukan dengan cara:
a. Membuka Kantor Cabang Syariah yang baru;
b. Mengubah kegiatan usaha Kantor Cabang menjadi Kantor Cabang Syariah;
c. Meningkatkan status Kantor di bawah Kantor Cabang menjadi Kantor Cabang Syariah;
d. Mengubah kegiatan usaha Kantor Cabang yang sebelumnya telah membuka Unit Syariah menjadi Kantor Cabang Syariah;
e. Meningkatkan status Kantor Cabang Pembantu yang sebelumnya telah membuka Unit Syariah menjadi Kantor Cabang Syariah; dan/atau
f. Membuka Kantor Cabang Syariah baru yang berasal dari Unit Syariah dari Kantor Cabang dan/atau Kantor Cabang Pembantu, di lokasi yang sama atau di luar lokasi Kantor Cabang dan/atau Kantor Cabang Pembantu dimana Unit Syariah sebelumnya berada.
Adapun syarat-syarat pembukaan Islamic Window dapat dilihat dalam Pasal 14-16 PBI 8/3/PBI/2006 yakni:
a. menyisihkan modal kerja untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah minimum untuk mengcover biaya operasional awal, antara lain: biaya sewa gedung, gaji karyawan, dan overhead cost;
b. memenuhi rasio Kewajiban Modal Minimum bagi Unit Usaha Syariah;
c. memiliki pencatatan dan pembukuan tersendiri untuk Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah;
d. menyusun laporan keuangan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah;
e. memasukkan laporan keuangan di atas dalam laporan keuangan gabungan;
f. wajib mencantumkan kata “Syariah” pada setiap penulisan nama kantornya.
4. Office Channeling; adalah merupakan kegiatan usaha perbankan berdasarkan prinsip syariah di Kantor Cabang dan/atau Kantor Cabang Pembantu Bank Umum Konvensional. Sebelumnya berdasarkan prinsip Islamic Windows versi PBI 4/1/PBI/2002, praktek demikian tidak dimungkinkan. Praktek perbankan syariah tidak diperkenankan dilakukan bersama-sama dalam satu kantor yang berpraktek konvensional. Akan tetapi aturan tersebut kemudian diperbaharui dengan Pasal 38 (2) PBI 8/3/PBI/2006 yang memberi kesempatan Layanan Syariah dibuka:
a. Dalam satu wilayah kerja Kantor Bank Indonesia dengan Kantor Cabang Syariah induknya
b. Dengan menggunakan pola kerjasama antara Kantor Cabang Syariah induknya dengan Kantor Cabang dan/atau Kantor Cabang Pembantu;
c. Dengan mempergunakan sumber daya manusia sendiri bank konvensional yang telah memiliki pengetahuan mengenai produk dan operasional Bank Syariah.
Dengan berbagai kemungkinan bentuk praktek perbankan syariah sebagaimana telah diatur oleh BI tersebut di atas, Praktek perbankan syariah dapat dioperasionalisakan secara lebih leluasa. Bank Syariah dimungkinkan untuk dibuka di Bank Umum Konvensional. Kesempatan demikian tidak diberikan kepada Bank Umum Syariah untuk melakukan kegiatan usaha konvensional. Pasal 39 PBI 6/24/PBI/2004 dengan tegas melarang Bank Syariah melakukan kegiatan usaha perbankan secara konvensional; atau mengubah kegiatan usahanya menjadi bank konvensional.
Dari sisi pengawasan, ada perbedaan antara bank konvensional dengan bank syari’ah. Pada bank konvensional pengawasan hanya dilakukan oleh Dewan komisaris. Sementara dalam perbankan syari’ah pengawasan dilakukan selain oleh Dewan komisaris juga dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah. Perbedaan ini muncul karena pada bank syari’ah, yang perlu mendapatkan perhatian bukan saja pada aspek kebijakan internal semata, akan tetapi juga aspek pelaksanaan produk-produknya apakah sudah sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah atau belum.
Untuk kepentingan inilah, MUI sebagai wadah bertemunya para ahli syari’ah, bersiap untuk membuat sebuah lembaga yang diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan perbankan syari’ah pada aspek kesyar’iannya. Maka, pada tanggal 10 Februari 1999 dikeluarkanlah Surat Keputusan MUI No. 754/MUI/1999 yang berisi tentang pendirian Dewan Syari’ah Nasional (DSN). Lembaga ini secara garis besar bertugas mengayomi dan mengawasi operasional aktivitas perekonomian Lembaga Keuangan Syari’ah. Ia beranggotakan para Ulama’, praktisi dan para pakar dalam bidang muamalah syar’iyah. Penunjukan keanggotaan dilakukan oleh MUI dengan masa kerja 4 tahun.
Berdirinya DSN ini mempeluangi bagi perbankan syari’ah untuk memenuhi syarat dimunculkannya Dewan Pengawas Syari’ah. Tugas dan fungsi Dewan Pengawas Syari’ah di setiap perbankan syari’ah diatur dalam Surat Keputusan Dewan Syari’ah Nasional Nomor 03 tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syari’ah Pada Lembaga Keuangan Syariah. Dari sisi hukum positif, tugas, wewenang dan tangung jawab Dewan Pengawas Syariah dalam perbankan syari’ah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 6/24/PBI/2004.
Dalam perbankan syari’ah kedudukan Dewan Pengawas Syari’ah sejajar dengan Dewan Komisaris. Peletakan kedudukan yang sejajar ini semata-mata agar DPS dapat berperan secara efektif. Jika Dewan komisaris bisa secara efektif mengawasi kondisi internal lembaga agar jajaan Direksi dapat sejalan dengan kebijakan Dewan Komisaris, DPS diharapkan dapat secara efektif mengawasi praktek Direksi agar selalu sejalan dengan prinsip-prinsp syari’ah.
E. Aspek legal Kegiatan Usaha Dan Penanganan Nasabah Bermasalah Dalam Perbankan Syariah
Salah satu karakter dasar yang membedakan antara bank syari’ah dan bank konvensional adalah terletak pada produk-produk yang ditawarkannya. Bank syari’ah berusaha sebaik mungkin untuk menghindari praktek-praktek riba yang direpresentasikan dengan sistem bunga. Dalam perkembangannya, di Indonesia, berdasarkan Pasal 2 (3) PBI 7/46/PBI/2005 disebutkan bahwa bukan saja sistem bunga (yang sering secara umum dipersamakan dengan Riba’) yang tidak boleh ada dalam transaksi syariah, melainkan juga Gharar, maysir, riba, zalim, riswah, barang haram dan maksiyat. Itulah prinsip-prinsip umum yang ditekankan dalam semua produk dari bank syari’ah.
Kegiatan usaha perbankan syariah ditegaskan dalam UU No 10/1998 dan peraturan pelaksanaannya. Pasal-pasal yang menegaskan tersebut adalah Pasal 1 ayat (12) dan ayat (13), pasal 6 huruf m, pasal 7 huruf c, pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), pasal 11 ayat (1) dan ayat (4a), pasal 13 huruf c pasal 29 ayat (3) dan pasal 37 ayat (1) huruf c. Ketentuan tersebut dipertegas lagi oleh Keputusan Direksi No 32/34/Kep/Dir. tanggal 12 Mei 1999 pasal 28 dan 29 tentang Bank umum berdasarkan prisnsip syariah bagi Bank Umum Syariah. Sedangkan bagi bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsp syari’ah ditegaskan lagi dalam pasal 27 dan 28 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No 32/36/Kep/Dir tahun 1999 tentang BPRS. Di samping itu juga di atur dalam Pasal 36 – 37 PBI 6/24/PBI/2004.
Berdasarkan aturan-aturan di atas, secara garis besar kegiatan usaha perbankan syariah meliputi:
1. Penghimpunan dana; Melakukan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan (giro dan tabungan berdasar prinsip Wadi’ah) serta investasi (giro, tabungan dan deposito berdasar prinsip Mudharabah).
2. Penyaluran dana baik langsung maupun tidak langsung; Pembiayaan langsung (berdasar prinsip jual beli, bagi hasil, sewa menyewa dan pinjam meminjam) serta tidak langsung/indirect finance (Bank Garansi, Letter of Credit).
3. Membeli, menjual dan/atau menjamin atas resiko sendiri surat-surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlying transacsion) berdasarkan prinsip jual beli dan hiwalah.
4. Membeli surat-surat berharga pemerintah dan/atu BI yang diterbitkan atas dasar prinsip syariah.
5. memindahkan uang untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah berdasarkan prinsip wakalah.
6. Menerima pembayaran tagihan atas surat berharga yang diterbitkan dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga berdasarkan prinsip wakalah.
7. Melakukan kegiatan penitipan termasuk penata usahaannya untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip wakalah.
8. Melakukan penempatan dari nasabah kepada nasabah lain dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek berdasarkan prisnip ujr.
9. Memberikan fasilitas Letter of Credit (L/C) berdasarkan prinsip wakalah, Mudharabah, Musyarakah dan wadi’ah serta memberikan garansi bank berdasarkan prinsip kafalah.
10. Melakukan kegiatan usaha kartu debet berdasarkan prinsip ujr.
11. Melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan prinsip wakalah.
12. Melakukan kegiuatan dalam valuta asing berdasarkan prinsp sharf.
13. Melakukan penyertaan modal di bank atau perusahaan lain bidang keuangan berdasarkan prinsip syariah, seperti: Mudharabah, Musyarakah sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan.
14. Bertindak sebagai pendiri dana pesiun dan pengurus dana pensiun berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.
15. Bertindak sebagai bait al mal yaitu menerima dana sosial dari zakat, infaq, shadaqah, infaq, hibah, wakaf dan dana sosial lainnya dan menyalurkan-nya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan/atau pinjaman kebajikan (al qard al Hasan).
Sedangkan kegiatan usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang berdasarkan prinsip syariah, sebagai berikut:
1. Menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan, meliputi:
a. tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudarabah.
b. Deposito berjangka berdasarkan prinsip Mudharabah dan wadi’ah, bentuk lain yang menggunakan kedua prinsip tersebut.
2. Melakukan penyaluran dana, melalui:
a. transaksi jual beli berdasarkan prinsip Murabahah, intishna’, ijarah, salam dan jual beli lainnya.
b. Pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip Mudharabah, Musyarakah, dan bagi hasil lainnnya.
c. Pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip rahn dan qard.
d. Sebagaimana Bank Umum Syariah atau bank konvensional yang membuka cabang syari’ah, BPRS juga dapat bertindak sebagai penerima dana-dana sosial seperti infak, shadaqah, zakat, wakaf dan lainn-lain untuk disalurkan kepada orang-orang yang berhak atau disalurkan dalam bentuk santunan dan kebajikan (al-Qardl al Hasan).
Dasar hukum berbagai akad dari produk-produk bank syari’ah diatur dalam ketentuan PBI No. 7/46/2005. Semua akad dalam bank syariah harus sesuai dengan ketentuan tersebut. Peraturan tersebut telah menetapkan syarat untuk berbagai produk perbankan syariah, baik berupa penghimpunan maupun penyaluran dana. Di bidang penghimpunan dana, telah diatur simpanan yang bersifat titipan, yakni: Giro Wadi’ah dan Tabungan Wadi’ah. Juga simpanan yang bersifat investasi, yakni: Giro Mudharabah, Tabungan Mudharabah dan Deposito Mudharabah. Di bidang penyaluran dana, PBI telah mengaturnya dalam Pasal 6 – 18 PBI No. 7/46/PBI/2005 tentang Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, Salam, Istishna’, Ijarah, Ijarah Muntahiya Bit Tamlik, dan Qardh.
Penting untuk dikemukakan, bahwa dalam perbankan syari’ah pada prinsipnya tidak mengenal ganti rugi. Hal ini mengingat bahwa di kalangan penggagas perbankan syari’ah, setiap bentuk penambahan apapun terhadap pokok pembiayaan merupakan bentuk-bentuk Riba’. Namun, PBI memberikan kemungkinan pengenaan ganti rugi semata-mata didasarkan atas ”kesembronoan” yang dilakukan pihak pengelola (debitur). Kemungkinan pengenaan ganti rugi tersebut di ataur dalam PBI 7/46/PBI/2005 Bagian ketiga pasal 19.
Hal penting lainnya yang perlu disinggung adalah berkenaan dengan jaminan. Pasal 8 UU 10/1998 menyatakan kewajiban bagi bank dalam memberikan pembiayaan syariah, mempunyai keyakinan berdasarkan analisis mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur mengembalikan pembiayaan. Terdapat lima pokok yang perlu dikaji seksama oleh Bank sebelum memberi fasilitas pembiayaan terhadap nasabahnya, yakni: watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha. Agunan merupakan salah satu kewajiban yang dipersyaratkan Undang-undang untuk diperjanjikan antara Bank dengan Nasabahnya dalam pembiayaan. Agunan sendiri ditetapkan menjadi 2 jenis, yang wajib serta agunan tambahan. Agunan wajib dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan pembiayaan. Sedangkan agunan tambahan adalah barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai.
Dalam perspektif syari’ah, pengambilan agunan diperkenankan. Prinsip Rahn, dalam prakteknya biasa dipergunakan baik sebagai perjanjian untuk menggadaikan barang atau sebagai jaminan. Secara tradisional, pengecualian hanya ditentukan atas akad yang bersifat bagi hasil, yakni: Mudharabah dan Musyarakah. Artinya untuk Mudharabah dan Musyarakah, jaminan bagi pengembalian modal merupakan hal yang tidak sah. Namun perkembangan di dalam praktek perbankan syariah, dan telah masuk ke dalam peraturan perundangan-undangan, jaminan bagi Mudharabah dan Musyarakah pun diperkenankan. Hal ini ditetapkan dalam Fatwa DSN No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh). Kemudian di Ketentuan nomor 3 huruf a butir 3 Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah. Demikian juga ditetapkan dalam PBI 7/46/PBI/2005 Pasal 6 huruf O untuk Mudharabah dan Pasal 8 huruf O untuk Musyarakah.
Beberapa ketentuan tersebut membolehkan pengambilan jaminan bagi pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah dengan alasan terbukti melakukan pelanggaran (penyimpangan) terhadap syarat dan kondisi akad, lalai, dan/atau curang. Hal ini berarti, khusus untuk pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah, jaminan tidak berfungsi sebagai Second Way-Out, pengganti pengembalian modal yang ditanamkan Bank di usaha/proyek Nasabah. Tetapi sebagai ganti rugi adanya pelanggaran, kelalaian dan kecurangan Nasabah. Faktor analisis resiko inilah yang membedakan fungsi jaminan dalam pembiayaan Mudharabah/Musyarakah dengan pembiayaan lain terutama yang berbasis jual beli (Murabahah, Salam, Istishna’) atau Kredit. Murabahah atau Kredit misalnya, bilamana pengembalian macet dengan alasan apapun, bank dapat meminta pengganti dana yang dikeluarkannya dengan pencairan jaminan/agunan.
Jika terjadi persengkatan antara kedua belah pihak (pihak bank dan nasabah), forum penyeleseiannya adalah Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS), apabila musyawarah mufakat tidak tercapai. Ketentuan ini diatur dalam fatwa DSN MUI, kemudian dikuatkan oleh PBI No 7/46/BI/2005 Pasal 20 ayat (2). Dalam perkembangan selanjutnya, dikeluarkanlah UU No 3/2006 tentang Perubahan UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama. UU tersebut memberikan kewenangan penuh bagi Peradilan Agama untuk menyeleseikan kasus-kasus ekonomi syari’ah yang didalamnya termasuk persoalan perbankan syari’ah . Di samping itu, ada forum penyeleseian lain di luar BASYARNAS dan Peradilan Agama, yang disebut dengan mediasi perbankan. Hal ini diatur dalam PBI 8/5/PBI/2006. Forum yang terakhir ini dilakukan oleh lembaga mediasi independen yang dibentuk oleh Asosiasi perbankan selambat-lambatnya diwujudkan tanggal 31 Desember 2007.
F. Penutup
Meski wacana bank syari’ah sudah mengemuka di Indonesia sejak tahun 70-an, tetapi secara formal kelembagaan saat itu belum mendapatkan respon yang baik dari pemerintah sebagai pemegang tunggal kebijakan. Baru di era 90-an wacana tersebut mendapatkan respon yang baik dengan diterbitkannya UU No 7/1992. namun demikian, keberadaan UU tersebut sebagai satu-satunya payung hukum praktek perbankan syariah ketika itu masih belum dapat memberikan ruang gerak secara maksimal. Beberapa kelemahan masih banyak ditemukan dalam UU tersebut.
Seiring dengan perkembangan yang terjadi, para pemerhati perbankan syari’ah terus melakukan evaluasi terhadap kelemahan UU perbankan syari’ah yang telah ada dan menerbitkan berbagai perturan terbaru. Maka, muncullah UU No. 10/1998 dan berbagai peraturan lain yang dikelaurkan oleh Lembaga pemegang otoritas tertinggi moneter Indonesia, Bank Indonesia. Semua peraturan tersebut muncul atas dasar kebutuhan bagi sempurna dan leluasanya praktek perbankan syari’ah di Indonesia.
Beberapa aspek yang terakomodasi dalam peraturan perundangan yang terus berkembang tersebut diantaranya:
1. Eksistensi Perbankan syariah di hadapan hukum Nasional; pada aspek ini keberadan perbankan syariah di Indonesia menemukan tempatnya yang semakin kokoh setelah keluarnya UU No. 10/1998. Jika pada UU No. 7/1992 keberadaan bank syariah masih harus ”bersembunyi” di balik istilah bank bagi hasil, pada UU No. 10/1998 keberadaanya semakin terbuka di hadapan hukum Nasional.
2. Aspek kelembagaan; munculnya UU No. 10/1998 berpengaruh terhadap perkembangan infra struktur perbankan syari’ah. Kelembagaan perbankan syari’ah semakin mudah untuk didirikan dan dipraktekkan oleh perbankan konvensional sekalipun.
3. Kegiatan usaha dan forum penanganan nasabah bermasalah; pada aspek ini berbagai macam produk mendapatkan rujukan yang jelas. Peraturan perundang undangan, -dan peraturan lain dari lembaga yang memiliki kompetensi di bidangnya terkait dengan peroduk-produk bank syariah-, memberikan konfirmasi yang jelas terhadap instrumen yang digunakan perbankan syariah baik dalam melakukan penarikan dana masyarakat maupun penyalurannya. Demikian juga, jika terjadi perseleisihan, maka forum penyeleseiannya juga telah disiapkan berdsasarkan prinsip-prinsip syari’ah.
 
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)

-----------------------------------, Bank Syariah Bagi Bankir & Praktisi Keuangan (Jakarta: Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 1999)

Ansori, Abdul Ghafur, Perbankan Syari’ah di Indonesa, (Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 2007)

----------------------------, Payung Hukum Perbankan Syari’ah, (Yogyakarta: UII Press, 2007)

Badrulzaman, Mariam Darus, ”Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional”, dalam: ”Arbitrase Islam Di Indonesia” (Jakarta: BAMUI dan BMI 1994).

Bank Indonesia, Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syari’ah Indoenesia, Jakarta: www.bi.go.id, 2005, diakses tanggal 5 Januari 2008.

Farouk, Peri Umar, Kelembagaan, Operasional & Pengembangan Produk LKS, www.mhugm.wikidot.com/artikel:011, 2002, diakses tangal 5 Januari 2008

-----------------------, Sejarah Hukum Perbankan Syari'ah di Indonesia, www. mhugm.wikidot.com/artikel:012, 2002, diakses tanggal 5 Januari 2008.

Al-Ghaud, Latifa M. dan Mervyn K. Lewis, Perbankan Syari’ah, Prinsip, Praktek dan Prospek, Alih Bahasa: Burhan Wirasubrata, Cet. II (Jakarta: Serambi, 2005)

Kara, Muslimin H., Bank Syari’ah Di Indonesia, Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syari’ah, (Yogyakarta: UII Press, 2005).

Sjahdeini, Sutan Remy, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia (Jakarta: Grafiti, 1999)





Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.

Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Dia Asia-Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah haji.

Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. [1].Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.

Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero), Bank Rakyat Indonesia (Persero)dan Bank swasta nasional: Bank Tabungan Pensiunan Nasional (Tbk).

Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah. Prinsip perbankan syariah

Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.


about me

my name is nasyirah nurdin , sering kali bnyak orang memanggilku dengan sapaan rhya :) ku mempunyai orang tua yang sangat aku sayang , punya 4 saudara yang sangatt aku sayang juga , punya sahabat dari kecil namanya andi masyita , ku sebenarnya banyak nganggap orang sahabat seperti alizah fitria tman smk ku , mirha , surianti , anggriani , sulastri , ulfi m , ulfiani dan rahmah c .
ehehehhe :)
tau nggak sih ku punya boyfriend namanya dedi reynaldi , uhh ku sangat sayang dia :)

love you all :*